Sabtu, 14 Agustus 2010

Kompas MuDA - Pubertas Versus Ramadhan

Ini adalah tulisan pertama saya yang diterbitkan di koran, tepatnya koran kompas MuDA pada tanggal 13 Agustus 2010. Merupakan suatu kehormatan dapat menulis untuk kompas, sekalipun hanya sekali. Enjoy!

-----------------------------------------
Pubertas versus Ramadhan? Kok kayak bersaing gitu judulnya? Kira-kira ada apa sih, kok pubertas harus dijadiin lawannya Ramadhan? Kalo gitu berarti ada satu yang menang, dong? Biar tau, baca artikel tim Kompas MuDA kali ini, yaaa!

Hai, MuDAers! Setelah sekian lama, akhirnya ketemu sama suasana ini lagi, ya? Suasana saat inbox hp kita full dengan sms ‘mohon maaf lahir batin’, acara salam-salaman, pedagang dadakan dimana-mana, kerabat pulang kampung, dan nuansa religi yang kental di tiap sudut kota bahkan di semua channel tv.

Yap! Kita sekarang udah memasuki bulan Ramadhan. Beberapa waktu lalu kita ngerasain hari pertama di bulan yang suci ini. Kita juga ngerasain lagi padetnya tarawih di malam pertama, dan ramainya penjual minuman ketika dekat saat berbuka. Bener-bener bulan yang pengaruhnya besar – khususnya buat negara kita tercinta yang penduduknya mayoritas beragama Islam.

Tapi kita gak mau bicarain itu dulu sekarang. Sobat MuDAers pasti sering banget dan gak perlu dikasih tau lebih mendalam lagi kalo di bulan yang penuh berkah ini kita harus nahan haus dan lapar, nafsu, amarah, sambil tetep menambah pahala dengan ngelakuin berbagai amal soleh.

“Ya, terus hubungannya sama pubertas, apa?”

Sabar dulu, kita semua juga pasti udah tau kalo sebagai remaja, kita bakal ngelewatin sebuah fase pendewasaan yang disebut pubertas. Di fase itu, sebagian dari kita ada yang baru ngerasa suka ama cewek atau cowok, baru ngerasain enaknya nongkrong bareng temen-temen, baru kenal rokok, dan lain-lain. Gampangnya, saat sang remaja nyari jati diri, deh.

Nah, korelasinya dengan judul diatas, tim Kompas MuDA pengen tau, gimana sih caranya para MuDAers menyiasati atau menyikapi dua hal yang bertentangan itu? Disatu sisi, hormon ngebuat gejolak nafsu jadi lagi pol-polnya, sedangkan disisi lain nafsu itu harus ditahan dan dialirin kearah yang positif. Dari data yang tim kumpulin dari wawancara ke beberapa murid SMA Negeri (bahkan ada yang mahasiswa UGM), ternyata gak semua jawabannya monoton dan mudah ditebak, loh.

Yang Batal

Untuk yang satu ini banyak, nih. Alasannya pun beragam dan mungkin sebagian dari kita udah pernah ngerasain sendiri. “Kalo sahur, susah banget bangunnya” kata mereka. “Duh... parah deh, gua kalo gak ngerokok, seharian mulut bisa asem”. Ada juga, “Kan gue cewek, kalo lagi males, bilang aja lagi dapet” ujarnya sambil terkekeh. Gak sedikit juga yang tergoda imannya untuk tetep nonton film dewasa, walaupun gak semuanya nonton pas siang. Duhduhduuuh…

Alasan solidaritas jadi penghalang utama bagi beberapa orang. Dan mungkin kedengerannya remeh, tapi ternyata ngegosipin orang udah jadi kayak makanan sehari-hari buat beberapa dari kita. Juga cabut pas tarawih dan marah-marah. Gak yang cowok, gak yang cewek. Ini harus kita perhatiin, nih. Kan sayang banget kalo puasa kita harus ilang pahalanya gara-gara itu doang.

Yang Bertahan

Nah untuk yang ini, mayoritas temen kita jawab kalo mereka itu berpegang sama prinsip mereka. ”Gue ya gue, mereka ya mereka” kata salah satunya. “Gue malu sama diri gue sendiri, sama keluarga.”

Dan bukan cuma itu, salah satu faktor terkuat dari ‘kubu’ pubertas, yaitu pacar, kenyataannya malah jadi energi tersendiri. “Gebetan gue selalu dukung gue kalo masalah puasa. Dia bangunin gue pas sahur, ngingetin gue tarawih, banyak deh.” Jelasnya dengan bangga. Wah, berarti gak selamanya pacaran itu konotasinya jelek, kan? Oya, kata mereka, telfonan atau smsan sama pacar bisa jadi alternatif ngabuburit, loh.

Disamping itu, ada juga komunitas remaja mesjid yang isinya anak-anak gaul yang masih tetep megang nilai-nilai keislaman. Mereka ngadain banyak acara keren, kayak sahur atau buka on the road. Lumayan kan, gaul sambil nambah pengalaman beragama?

MuDAers, sebenernya yang pengen kita cari dari judul diatas, bukan pemenang dari salah satunya. Yang kita cari, adalah yang ‘draw’. Yang seri. Dalam artian, gak bisa pubertas yang menang karena yang mentingin hawa nafsu dan gejolak masa muda yang berlebihan pasti bakal keseret ke hal-hal buruk serta gagal dalam ibadah Ramadhannya. Gak bisa juga Ramadhan yang menang, karena pubertas itu alamiah dan merupakan proses wajib yang harus dilewati seorang remaja menuju kedewasaan.

Itu emang gak mudah. Cuma, gak mudah bukan berarti gak bisa, ya? Temen-temen kita itu buktinya. Mereka bisa ngelewatin ini. Dari mereka kita tau ada banyak cara yang bisa kita pake untuk memotivasi diri. Apakah itu kesadaran pribadi, omelan dari pacar, atau sekedar uang THR yang dipotong, semuanya bisa kita contoh.

Ramadhan itu cuma 30 hari setahun, loh. Selama gak ada yang mampu ngejamin kita bisa melek lagi besok, gak ada juga yang mampu jamin kita bisa ketemu bulan yang penuh ampunan dan berkah ini lagi, kan? So, keep your spirit on fire! Ini baru minggu pertama kita puasa. Masih ada berhari-hari yang bisa kita gunain untuk menghimpun pundi-pundi amal ibadah sambil tetep eksis dan gaul hingga tiba hari kemenangan nanti. Be the winner of draw match, pal!

Senin, 09 Agustus 2010

PUISI - Peluh Tak Terbalas

Selama waktu berjanji untuk terus berputar...
Setiap pertemuan selalu ditemani bayangan akan perpisahan...
Selama waktu berjanji untuk terus berputar...
Detik yang ada tak akan cukup untuk memuaskan dahaga kebersamaan...

Demi waktu, yang dengannya setiap momen terasa berharga....
Dan demi waktu, yang tanpanya setiap perjumpaan tak akan ada artinya...

Tak pernah terkira bahwa kami akan kehilangan seorang pribadi...
Pribadi yang sudi merenta dalam merajut jalan keemasan kami...
Pribadi yang sudi menua dengan kesusahan yang mulia...
Pribadi yang kukuh dalam menganggunkan akhlak secara utuh...
Serta pribadi yang menorehkan kesahajaan dalam hati yang lapar akan pengertian...

Tak sedikit suka duka yang telah kita lalui...
Yang menjadikannya hiasan apik bagi indahnya hari ini...
Hanya panjatan doa yang dapat kami beri...
Agar engkau selalu sehat dan diridhoi...

Engkau dengan segala usahamu…
Bak peluh yang tak terbalas bagi kami…
Sungguh besar segala dedikasimu…
Sehingga tak mungkin kami membalas kembali…

Guruku, yang tuturnya senantiasa membangun asa dalam jiwaku...

Mungkin...
Benderangnya sinar lampu yang menerpa pipiku siang ini...
Tak cukup terang untuk menyinari hatiku yang mendung karena kau harus pergi...

Mungkin...
Saat kusuarakan tulisan ini dengan lisanku...
Adalah saat-saat terakhir kita bertemu...
Saat-saat terakhir kulihat wajahmu...
Dan saat-saat terakhir ragaku menjadi hangat lantaran senyummu...

Sungguh...
Tangan ini tak rela untuk melepasmu...

Namun...
Tangan ini pun tak kuasa untuk menahanmu...

Maka...
Guruku, yang dengan kelembutannya menghaluskan kekerasan dalam pikiranku...
Ada yang ingin kami sampaikan ditengah keharuan yang tak tertahan...

"Terima kasih guruku...
Sekalipun kau telah pergi...
Namamu akan selalu terpatri di sanubari kami...

Terima kasih guruku...
Tak akan ada yang sepertimu."


Jakarta, 14 Juli 2010

Amadeo D. Basfiansa

Minggu, 08 Agustus 2010

Album Foto

Minggu dini hari ini aku terbangun dengan kebiasaan yang sama, melek kearah langit-langit dengan kegalauan yang tak berarti didalam hati. Entah ya, rasanya kayak ada semacam perasaan merugi karena aku melakukan atau gak melakukan sesuatu. Perasaanku akhir-akhir ini seakan dihantui oleh kerugian karena gak memanfaatkan waktu secara optimal. Disatu sisi aku nganggep itu baik, karena mendorongku untuk lebih efisien dalam segala hal. Tapi disisi lain, aku mulai frustasi dengan segala atrificial stress ini. Sebab kadang-kadang rasa cemas itu memiliki sebab yang buram, seperti yang kurasakan sejak pertama kali membuka mata hari ini sehingga sulit untuk kuhilangkan.

Seperti ada sebuah penyakit yang menggantung didadaku.

Setelah memaksakan diri untuk bangun, kakiku melangkah gontai menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dua rakaat yang kujalani sesudahnya, mengantarku kembali untuk duduk didepan sebuah layar kaca yang sengaja gak kunyalain biar memudahkanku untuk berpikir.

Aku mulai bertanya pada bayangan diriku yang terpantul di sebuah layar yang padam.

Kok aku gelisah banget, sih? Kenapa perasaan aneh ini datang padaku? Perbuatan buruk apa yang kulakukan? Atau, kewajiban apa yang harus kutunaikan? Jika itu masalah sekolah, kekhawatiran menghadapi ujian akhir, atau suasana persaingan yang merebak antar teman, biasanya gak se-mengganggu ini. Terus, aku kenapa dong?

Sebuah suara yang familiar memanggilku setelah tiga menit duduk tanpa bahasan yang penting dalam anganku.

“Kiii.. sini bentar deh. Mama mau ngasih unjuk sesuatu!”

“Yaaa… sebentar.”

Aku beranjak malas dari tempat tidurku menuju kebawah. Dari tangga aku bisa liat mama duduk ditemani setumpuk album foto disampingnya. Pasti mau ngasih liat foto dulu. Cuma kali ini ada ekspresi lain yang ditunjukkin mama. Matanya berbinar-binar.

“Liat deh, ini foto waktu kamu masih kecil. Banyak banget. Ada kamu sama sepupumu, adikmu, sama eyang juga ada.”

Aku bisa lihat kalo jumlah fotoku dengan eyang mendominasi album kecil itu. Disusul dengan foto bersama adik, baru sama sepupu. Untuk beberapa saat ketika melihat foto-foto aku kecil itu, aku kebawa suasana sentimentil. Mama gak boong pas bilang kalo aku bisa dikatakan lebih beruntung dimasa kecil dibanding adikku. Yah, gampangnya lebih dapet perhatian dari eyang, deh. Tapi bukan itu topiknya kali ini. Disitu aku terlihat jauh lebih bahagia, lebih lepas, lebih narsis (yang ini gak begitu penting), lebih tanpa beban dibanding aku yang sekarang. Aku yang sekarang cenderung lebih membuat-buat masalah ketika aku seharusnya menikmati hidup. Mungkin dengan nge-push diriku untuk perfect disegala hal, waktu, juga kesempatan, jiwaku telah berteriak memintaku untuk menurunkan standar.

“Ma, dulu aku gemuk ya?” tanyaku ke mama yang dia bales pake senyum doang. Pandanganku balik ke foto-foto tua itu. Disamping fakta bahwa dulu aku terlihat bahagia banget, gak kayak sekarang, juga aku sering maen sama eyang dan adikku, aku nyadarin sesuatu lagi.

They were look so young.

Mama, papa, om, tante, eyang, semuanya keliatan jauh lebih muda dibanding sekarang. Memang sih, itu jelas secara itu foto 15 tahun yang lalu. Tapi, tetep aja… “Wow… muda banget. Penampilannya jauh berbeda pas rambut putih belum menghiasi kepala mereka…” bisikku dalam hati. Kalau melihat eyang kakung yang sekarang harus berjalan menggunakan tongkat kemana-mana, fotonya dulu mengatakan sebaliknya.

Ketika baca komentar-komentar di pinggir foto itu, serasa ada yang matiin saklar yang menghubungkanku ke dunia luar. Aku tenggelam dalam imajinasiku sendiri. Kata-kata sederhana namun menyentuh, telah membujuk air mataku untuk ngalir keluar. Seperti, ‘Duuh… si Kiki ultah yang ke limaa.. Semoga cepet gede ya, sayaang :)’, ‘Wahwah.. adek kok berantem mulu sama kakak, siih? Mainnya yang akur ya, anak-anakkuu...’, ‘Kiii.. mulutnya dibuka, yaaa.. Liat tuh, eyang udah bela-belain nyuapin sambil gendong kamu’.

Gambar-gambar masa lalu itu udah ngebius pikiranku ampe aku gak sadar air yang sama juga membasahi pipi mama semenjak 10 menit yang lalu. Aku menaiki tangga kearah atas dengan perlahan setelah aku memeluk mama dalam keadaan sama-sama menangis. Mungkin bagi orang lain ini berlebihan, tapi dikeluargaku pengabadian momen lewat foto itu jarang. Semakin kesini semakin jarang, berlawanan banget ama gradien kemudahan berfoto ria lewat hape ato media lain.

Aku kemudian duduk disisi tempat tidur, melihat wajah adikku yang tertidur pulas dan gak tau berapa lama sejak terakhir kali aku nyempetin waktu untuk sekedar ngeliat mukanya pas bicara. Aku selalu jutek pas dia minta tolong. Lupa bahwa dulu kami sering main bareng sekalipun dengan jarak umur yang lumayan jauh. Dia masih kecil, tapi kadang-kadang aku tanpa sengaja memaksanya untuk berpikir dewasa dengan menanggapi serius perilakunya dia. Aku sadar tindakanku udah salah.

Kemudian… Sejak aku SMP, aku mulai jauh dari eyang. SMA apalagi. Sekalipun waktuku sering kosong, aku lebih memilih untuk tidur-tiduran atau berselancar didunia maya ketimbang nganterin eyang. Padahal aku dulu mau mau aja diminta nganterin – dengan iming-iming snack dan es loli. Aku lupa kalo dulu dia sering nyuapin aku walaupun aku males makan. Sering ngajak jalan-jalan, bacain cerita sebelum tidur, bahkan gak segan-segan mijitin kalo aku capek abis lari-lari.

Terus… kedua orangtuaku. Sebelum aku menyilahkan diriku untuk berpanjang lebar mengingat untaian dosaku ke mereka, aku langsung nanya ke diri sendiri lagi. ‘Aku udah bales mereka apaan, yah?’ Aku bukan anak yang begitu penurut, ga begitu pinter disekolah, ga punya bakat yang bisa dibanggain, dan bukan anak paling jujur sedunia. Sekalipun aku pinter juga, kayaknya bukan itu yang ngundang senyum mereka. Dan nginget tanggal di salah satu foto tadi, aku udah ‘nyiksa’ mereka selama 21 tahun. Mungkin aku lebih ngebuat mereka tua dibanding karena umur mereka sendiri. Ngerti gak?

Cahaya matahari yang malu-malu ngintip lewat jendela membawaku kedalam suasana hati lain di fajar yang singkat ini. Seiring berjalannya waktu, rumah ini udah jadi tempat tidur doang. Mama papa yang makin sibuk sendiri, jarak kampusku yang jauh dan sering disibukkan oleh berbagai urusan didalamnya membuat hubungan keluarga kami terkadang kerasa lebih kayak rekan kerja dibanding hubungan darah. Aku membawa diriku kedepan sebuah cermin yang dari ukurannya membuatku bisa memperhatikan keseluruhan badanku.

Disitu kutatap dalam-dalam mata dan wajahku.

Apa yang telah kulakukan selama ini? Aku membiarkan diriku hanyut dalam tuntutan jaman demi bisa memperkuat jaringan pertemanan tanpa mengingat jaringan keluarga yang begitu berarti bagiku. Aku terus-terusan mencoba menyukseskan diriku, mementingkan hubungan dengan orang lain, mempermasalahkan hari-hariku, berpikir tentang wanita, ambisius untuk sekedar dapetin nilai yang temporer, tanpa menggubris alam dimana aku berasal.

Kapan terakhir kali aku bener-bener bahagia?
Kapan terakhir kali aku tertawa lepas tanpa beban?
Kapan terakhir kali aku bersenang-senang dengan keluargaku?
Or at least…
Kapan terakhir kali aku menganggap mereka ada?


Aku berdiri kayak patung didepan cermin itu. Fisikku diam, tapi pikiranku melanglang buana. Flashback ke semua memori indah yang bagai mimpi bila kuingat sekarang. Saat-saat bergandengan ketika jalan sama adek, orang tua, dan kemeriahan ketika berkumpul bersama keluarga besar. Aku ingat bahwa hanya kata ‘tidak’ yang mencuat dari bibirku ketika mama ngajak ke arisan keluarga. Aku kangen sama semuanya itu. Apa yang harus kulakukan untuk memulainya lagi?

Mama teriak lagi. Kali ini nadanya cemas. Takut.

“Kiki! Kiki! Eyang uti masuk rumah sakit, nak.. Dia kepeleset di kamar mandi dan pingsan. Mama takut ini bahaya buat dia soalnya dia diabetes, nak! Ikut mama sekarang!”

Aku cuma bengong denger itu. Aku mendongak ke atas sambil senyum. Senyum getir. Senyum yang dibumbuin kekhawatiran karena salah satu orang yang paling sayang aku sedang terancam keselamatannya. Empat detik kemudian aku langsung lari, nyamber pakaian di jemuran, dan ngambil kunci mobil untuk pergi ke rumah sakit sama mama. Aku harap kami ga telat. Semoga eyang gak kenapa-napa. Di perjalanan aku cuma bisa zikir sembari berterima kasih.

Terima kasih Tuhan, aku telah disadarkan pada waktu yang tepat.
Kini aku bisa kembali ke aku yang dulu, yang bahagia.
Kini aku tahu penyebab kegalauan di tiap pagiku.
Kini aku tahu penyakit apa didadaku.
Kini aku bisa kembali berbakti lagi.
Oh.. Keluarga…

(ADB)

Rabu, 04 Agustus 2010

Words for Today

Kebijaksanaan tanpa ketegasan, sejatinya tidak lain laiknya payung tak beratap. (ADB)