Jumat, 23 Juli 2010

Desa Kabut Misterius I - Memory from The Past

Namaku Dennis. Aku sedang duduk di sebuah kamar, di samping jendela di rumah ibuku, yang terletak di sebuah desa yang belum terlalu dijamah oleh teknologi. Di desa ini penerangan paling mewah adalah lampu minyak. Tidak ada satupun warga yang memiliki lampu bohlam sebab ketersediaan listrik yang kurang memadai. Sehingga bulan purnama yang kupandangi sedari tadi, selain memberikan sedikit penerangan pada para penduduk, juga memberikan efek menyeramkan, karena sinarnya yang mengenai pohon justru merefleksikan bayangan yang mengerikan.

Angin yang berhembus melalui jendela yang terbuka lebar, menyelimuti tubuhku dan membuat rasa dingin menusuk hingga tulang. Suara daun-daun yang bergesek lantaran tertiup angin terdengar bak sedang merintih. Mencekam. Lolongan anjing liar yang terdengar dari kejauhan seakan memecah lamunanku dan tiba-tiba menggali kembali sebuah kenangan di masa laluku yang telah kukubur dalam-dalam. Perlahan namun pasti, serpihan-serpihan kenangan itu tersusun kembali. Semakin diingat, semakin jelas gambaran kenangan itu dibenakku.

Peristiwa ini terjadi sekitar 10 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1989, saat aku dan teman baikku, Andri, melakukan sebuah perjalanan. Mungkin itulah saat terakhir aku melihat mukanya yang senantiasa cerah. Aku ingat sekali. Tujuan kami pada awalnya adalah merayakan ulang tahunnya yang ke-20 dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu merayakannya di sebuah tempat yang ia pilih sendiri. Semenjak kami memulai perjalanan, ia tak pernah memberitahu letak sesungguhnya dari tempat yang ia maksud. Ia hanya memberitahukan jalan. Dia juga membawa sebuah buku, yang belum pernah dan tidak ia ijinkan aku untuk melihatnya sebelum kami sampai di tempat yang ia juju.

Malam itu, setelah melalui perjalanan selama empat jam, aku dan Andri memutuskan untuk berhenti sejenak dan mencari tempat istirahat. Tidak mungkin kami meneruskan perjalanan. Sudah terlalu larut. Bensin mobil kami hampir habis. Di masa itu jarak antar satu pemukiman dengan pemukiman lain cukup jauh dan sama sekali tidak ada alat komunikasi. Tingkat keamanan juga rendah. Jadi, kami memutuskan, untuk mencari tempat menginap.

Kabut mulai menghalangi pandangan dan angin dingin berhembus. Seperti malam ini. Andri segera berjalan sedikit cepat untuk memeriksa keadaan sekitar, sementara aku hanya bisa melihatnya dari belakang karena jika aku kedinginan, akan sulit bagiku untuk bergerak dengan cepat. Sejauh mata memandang, nyaris tidak terlihat apa-apa.

Dalam waktu singkat Andri menghilang dari hadapanku. Aku melihat sekeliling. Di sebelah kananku hanya ada sebuah surau reot yang kelihatannya sudah tidak digunakan dan ditinggalkan bertahun-tahun. Di sebelah kiriku terdapat sederet pohon pisang yang dibelakangnya terlihat banyak batu.

“Mungkin dibelakang sederet pohon pisang itu ada sungai.” pikirku.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas batu-batu itu karena kabut. Tapi sudahlah.

Selang beberapa menit kemudian, Andri datang dengan sedikit tergesa.

”Ayo! Cepatlah! Agar kita bisa segera beristirahat! Tadi aku lihat ada dua rumah yang lampunya masih menyala.” katanya.

Kami mulai berjalan dengan sedikit cepat. Memang jarak antar satu rumah dengan rumah lain di lokasi itu agak berjauhan sehingga kami harus sedikit berlari agar bisa cepat sampai. Tidak ada satupun rumah yang terkesan modern. Semuanya semi-permanen. Malah ada beberapa yang hanya terbuat dari anyaman. Kemudian kami berdua melewati sebuah rumah, yang engsel bagian atas dari pintunya sudah copot dan tergeletak miring seolah menghalangi orang masuk ke sana. Entah mengapa aku terdorong untuk memasukinya. Rasa penasaranku mulai bergejolak. Akhirnya kami berdua memasuki rumah tersebut walaupun pada awalnya Andri tidak setuju. Namun, hujan yang kemudian turun membuat kami terpaksa memasuki rumah tersebut untuk berteduh sebentar.

Rumah itu jelas kosong. Jarak penglihatanku bergantung pada sebuah lampu minyak yang kutemukan di samping rumah. Rumah itu kecil, dan hanya dengan beberapa langkah saja kami sudah sampai di dapur. Seperti perabot yang lain, peralatan dapur itu tidak terurus. Hanya saja, tampaknya sebelum ditinggalkan, pernah terjadi perkelahian di tempat itu.

Berantakan. Itulah kesan pertama yang timbul di benakku ketika melihat kondisi dapur tersebut. Ada pecahan piring di lantai, gelas dalam posisi tumpah, dan lain-lain. Anehnya, ada gergaji di sana. Untuk apa? Biarlah. Aku kembali ke depan untuk menemani Andri yang sedari tadi menungguiku karena dia takut untuk masuk lebih dalam. Ketika berjalan, kakiku tanpa sengaja menginjak sesuatu. Tenyata itu sebuah foto. Ada gambaran tiga orang di sana. Tampaknya satu keluarga.

”Hei! Hujan sudah berhenti. Mau berapa lama kau disini?”

”Ya, sebentar!” Suara Andri mengagetkanku. Segera kutaruh kembali foto itu diatas sebuah meja. Benar saja, hujan telah berhenti dan kabut kembali datang.

Akhirnya kami sampai pada rumah pertama yang penerangannya masih menyala. Kami mengetuk pintu rumah itu dan dengan diiringi suara decit pintu yang menyakitkan telinga, keluarlah sosok seorang pria tua dengan pakaian yang lusuh dan compang-camping. Tubuhnya yang kurus membuat matanya terlihat menonjol dan seakan mau keluar. Dia hanya menampakkan setengah tubuhnya pada kami. Tidak terlihat semua karena setengahnya ia tutupi dengan pintu.

”Boleh kami numpang menginap, pak?” tanya Andri.

”Tidak! Rumahku kecil dan itu hanya cukup untukku dan anakku! Sekarang pergilah sebelum kau membangunkannya!” Bentak pria tua itu dengan suara yang serak dan dalam. Pemilik rumah dan rumah itu sendiri, sejak kami mendekatinya, memang memberikan aura yang buruk. Mungkin seandainya kami disuruh untuk tidur disanapun kami tidak akan mau.

Kami mendatangi rumah lain yang masih ada penerangannya. Tidak begitu jauh. Sekitar 100 meter. Kami mengetuk pintu rumah itu dan keluar seseorang. Ibu tua. Kini jauh dari kesan menyeramkan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi rumahnya yang terlihat bisa roboh kapan saja membuat kami berdua iba. Ia begitu ramah dan menyilahkan kami masuk. Karena sudah terlalu larut, kami tidak berbasa-basi. Setelah kami mengutarakan niat kami, alhamdulillah ia langsung menyanggupi.

Kami diantarkan ke dua kamar yang berbeda. Ibu tua itu berkata, ”Tidurlah. Memang tadinya ada dua orang yang menempati kamar ini. Tapi tak apa, mereka sedang pergi.”

Kami berterima kasih dan langsung memasuki kamar masing-masing. Aku hanya dapat meraba-raba dan kemudian berbaring di kasur. Gelap. Sama sekali tidak ada cahaya di kamar itu. Sebelum memejamkan mata, aku terus memikirkan hal yang janggal saat berada di rumah pria tua tadi. Dia bilang bahwa di rumah itu ada anaknya tapi hanya ada satu alas kaki. Rumah pria tua tadi juga terlihat sedikit lebih besar dibanding rumah ini dan rumah-rumah yang telah kami lewati tadi. Jadi, walaupun ada anaknya, pasti masih ada ruang untuk kami menginap.

*****

Rasa pusing sontak menghampiri. Sejurus kemudian aku jatuh terlelap karena hanya itulah yang dapat kulakukan. Dalam tidurku aku bermimpi. Aku berada dalam sebuah ruangan serba gelap dan tiba-tiba terdengar suara Andri. Tidak jelas apa yang dikatakannya. Tapi nada bicaranya aneh. Bukan sedang menjerit dan bukan pula sedang merintih.

Lalu aku terbangun. Terasa lebih segar memang, namun masih sedikit pusing. Mungkin karena terkena hujan semalam. Pagi sudah menjelang. Namun sedikit sekali cahaya yang masuk melalui jendela. Ternyata, kabut tebal masih menyelimuti. Namun, cahaya itu cukup membuat seisi kamar itu terlihat. Aku melihat sekeliling dan ada sebuah benda yang membuatku kaget.

Sebuah foto. Sama dengan yang kutemukan di rumah yang sudah ditinggalkan itu. Ternyata wanita di foto itu adalah pemilik rumah ini dan pria di sebelahnya adalah pria tua semalam. Kondisi bingkai yang sudah buruk membuat bagian belakang bingkainya jatuh bersamaan dengan foto tersebut.

Saat ingin kuambil, foto itu dalam posisi telungkup dan dipojok kanan bawah ada sebuah tulisan yang hampir pudar. ”2-0;0’.8-83”. Itulah yang tertera di balik foto itu. ”Angka apa itu?”. ”Nomor identitas seseorang? Atau ini kode?”. Beribu pertanyaan senada seketika muncul di pikiranku.

”Terserahlah”, pikirku. Tidak usahlah merepotkan diri sendiri dengan sesuatu yang sama sekali bukan urusanku. Dengan langkah yang gontai karena masih agak pusing aku keluar kamar itu dan hanya mendapati ibu tua itu. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Andri.

”Apakah teman saya masih tidur, Bu?”

”Tidak. Ia sudah bangun dari tadi. Dia ingin shalat shubuh dan kuberitahu bahwa tempat shalat yang layak dan mengambil air jaraknya sekitar 2 km dari sini. Ia langsung pergi dan tidak membangunkanmu karena melihat kau tertidur pulas.”

”Ke mana perginya?”

”Berlawanan dengan arah datangmu.”

Seraya mengucapkan salam aku melangkah menjauh dari rumah itu. Kabut masih tebal, namun aku masih dapat melihat segala sesuatunya dengan baik. Cahaya matahari nampaknya enggan menyinari bumi karena tertutup awan yang begitu mendung dan juga tebal.

Sepanjang sekitar 2 km perjalanan telah kulewati. Jangankan tempat shalat, rumah pemukiman warga pun sudah semakin tidak terlihat. Yang terjadi sekarang adalah aku berada di tengah-tengah rawa yang semakin lama semakin kumasuki. ”Apakah ibu tua itu membohongiku? Buat apa?”. Aku pun berpikir, ”Mungkin aku tersesat. Tapi selama ini hanya ada jalan setapak, dan tidak ada yang lain”.

Kemudian aku melirik pada penunjuk waktu elektronik yang berdetak di tangan kananku. Sekali lagi aku terperanjat kaget dan tidak mempercayai mataku. Pada alat sederhana peninggalan ayahku itu terlihat bahwasanya sekarang sudah pukul sembilan pagi.

”Apa-apaan? Masa jam segini Andri belum sampai rumah? Di daerah ini, Shubuh itu kan paling telat jam enam pagi. Dengan jarak tempuh kurang lebih 2 km, dan waktu mengambil air juga shalat, jika sambil berjalan santai paling telat dia sudah sampai di rumah sekitar jam tujuh! Ada yang tidak beres! Aku harus cepat kembali!”

Dalam perjalanan kembali, sambil berlari aku melihat sesuatu yang tidak sempat kulihat saat pergi tadi. Itu ada di pinggir jalan. Aku melihat sebuah topi. Milik Andri! Robek! Firasatku buruk. Benar-benar buruk. Setelah kuambil topi tersebut, aku melihat segumpal kertas di depannya. Kutegakkan posisiku, dan aku melihat bahwa kertas itu ada banyak. Disekitarnya juga ada beberapa tetes darah yang mulai mengering. ”Berarti masih baru!” pikirku.

Setelah ditelusuri, gumpalan kertas itu totalnya ada sembilan buah. Anehnya, mereka membentuk motif yang teratur.

"• • • — — — • • •".

Pola itulah yang terbentuk. Sejenak aku terdiam dan berfikir. Setelahnya pula aku langsung panik dan ketakutan setengah mati. Kalap. Bimbang. Tatkala setelahnya aku sadar, bahwa Andri sudah menulis sebuah kode. Kode yang dibuatnya dalam keadaan darurat. Itu kode morse. Artinya adalah S.O.S.

Andri memang cerdas. Untung dia tahu kalau aku bisa membaca kode itu. Maka, berlarilah aku menuju rumah itu lagi. Entah kenapa aku menaruh curiga pada pria dan ibu tua itu. Perilaku mereka yang aneh, foto itu, angka itu, juga fakta membingungkan mengenai kemana perginya semua penduduk desa tersebut mengingat belum ada satu pun yang menunjukkan batang hidungnya kendati sekarang hampir jam setengah sepuluh. Mungkin bukan mereka penyebab hilangnya Andri, tapi mereka patut diawasi. Aku tak bisa menyelesaikan ini sendiri. Aku harus utarakan pada penduduk desa lain.

Beberapa menit kemudian, dengan nafas yang terengah-engah, aku sudah sampai di wilayah desa itu lagi. Tapi aku tidak mau mendekati kedua rumah itu. Biarlah mereka menganggap aku sedang pergi. Aku yakin, mereka pasti memperkirakan bahwa aku akan kembali. Jadi, aku sebaiknya waspada.

Aku mengendap-endap dibalik pohon-pohon pisang yang bisa dibilang mengisolasi desa ini. Namun itu bukanlah keahlianku. Saat aku nyaris melewati kedua rumah itu seseorang menarik tanganku dari belakang. Itu si ibu tua. Dengan wajahnya yang ramah ia menanyaiku tentang mengapa aku mengendap-endap. Singkatnya aku meminta untuk berbicara di dalam rumah saja. Akan jauh lebih berbahaya kalau kukatakan di luar. Di dalam rumah, kuceritakan semua. Mengenai kesan tentang pria tua, foto, hingga topi dan kode yang dibuat Andri. Sebenarnya dalam hati aku pun takut mengatakan ini dan ingin pulang saja. Tapi aku harus.

Tanpa banyak berkomentar, ibu tua itu langsung bercerita, ”Dulu di sini adalah desa yang damai. Para warganya saling menolong. Hingga pada suatu saat, ada sepasang suami-istri yang mulai dijauhi karena anak mereka dikabarkan mempelajari ilmu-ilmu hitam. Semua warga desa ini, kecuali keluarga itu, membenci segala hal yang berbau gaib. Sehingga keluarga itu mulai menimbulkan kegelisahan lantaran mulai banyak hal-hal yang aneh terjadi. Suatu waktu, terjadilah hal yang paling aneh. Saat hari mulai siang, terdengar suara letusan hebat. Sangat kuat. Penduduk langsung memusatkan pikiran mereka pada anak berilmu hitam dan keluarga nyentrik itu. Langit mendadak hitam, dan banyak asap berterbangan. Banyak pohon yang tumbang dan setelah itu tidak ada seorangpun yang bisa melihat matahari selama sekitar 10 hari. Selama 10 hari itu pulalah kemarahan dan kegelisahan warga memuncak. Mereka diberitakan menculik anak itu dan membunuhnya dengan sadis di depan kedua orangtuanya. Ayah anak itu langsung marah bukan kepalang, dan dia mengutuk desa ini. Salah satunya agar desa ini dan seluruh warga yang ada di dalamnya tidak lagi bisa melihat matahari dan terus dirundung kabut.”

Kemudian ibu tua itu berhenti dan berbalik lalu berjalan menuju dapur.
Aku tidak mengerti maksudnya. Apa ibu tua ini mengerti situasi yang sebenarnya terjadi? Sesaat kemudian dia mulai berbicara lagi, ”Nak.....”.

*****

Dengan hitungan detik dia berbalik dan langsung melemparkan pisau ke arahku. Besar sekali. Seperti untuk memotong daging. Air mukanya yang ramah hilang sudah. Diganti dengan wajah yang betul-betul menyeramkan. Belum sampai di situ. Dia terus melemparkanku, pisau, beling, piring, garpu, dan alat-alat tajam lainnya sehingga memaksaku untuk mendekati pintu dan keluar. Kuputuskan untuk berlari menuju mobil. Karena itulah satu-satunya tempat di area sinting ini yang paling kukenal, dan kurasa paling aman.

Sambil berlari, aku terus berpikir, ”Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan ibu tua itu? Kenapa dengan desa ini? Di mana Andri? Apa aku sedang bermimpi?” Tak dinyana, saat ibu itu sampai dihalaman rumahnya untuk mengejarku, dia berhenti, dan dia berteriak, ”Ed! Keluarlah! Anak itu sudah tahu semuanya!”.

”Kepada siapa ia berteriak? Atau jangan – jangan .....”

Pada saat itu aku sedang berlari sambil melihat ke arah belakang, sehingga tidak memperhatikan jalan di depan. Seketika aku menabrak sesuatu. Sesuatu yang keras. Aku pun terjatuh. Sejenak kuberharap bahwa pada saat itu aku akan terbangun dan mendapati segalanya hanya mimpi belaka. Tapi bukan. Perlahan-lahan kutengadahkan kepalaku, berusaha mencari tahu apa yang kutabrak. Dia si pria tua itu. Dengan pisau tajam di tangan kirinya dan gergaji tua yang kutemukan di rumah yang ditinggalkan itu di tangan kanannya. Kali ini aku dapat melihat sebagian tubuhnya yang waktu itu ia sembunyikan. Bagian tubuh sebelah kanannya penuh dengan luka bakar. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mengapa tubuhnya bisa sedemikian kuat? Gila. Di depan dan dibelakangku ada psikopat. Untungnya umur benar-benar telah mempengaruhi mereka. Mereka bergerak lebih lamban dariku. Tapi akurasi lemparan mereka luar biasa. Ibu itu benar-benar hampir mengenaiku di rumahnya tadi.

Pilihanku pada saat itu hanyalah bersembunyi di balik pohon-pohon pisang yang ditanam di pinggir-pinggir jalan bak lampu yang dijejer di landasan pesawat. Tanpa pikir panjang, dengan sekuat tenaga aku berlari ke balik pohon pisang itu dan terus berlari menuju mobil. Saat berlari, aku tersandung oleh sesuatu. Ketika aku akan berdiri, aku melihat sebuah batu. Batu yang sama dengan yang kulihat saat pertama kali sampai di sini. Ternyata ada banyak. Ada di kanan dan di kiri jalan. Seolah-olah desa ini dikepung oleh batu ini. Kupicingkan mataku untuk membaca tulisan yang ada di batu itu. Perlahan-lahan kuucapkan dalam hati, ”Santoso (1850-1883). I-ini batu nisan!”. Ya, semua itu batu nisan. Batu yang awalnya kukira adalah batu kali dan mengepung desa ini ternyata adalah batu nisan.

”Apa saja yang telah kedua orang itu lakukan?”. Kesal, sedih, takut bercampur aduk menjadi satu. Rasanya ingin menangis saja. Kemudian mataku tertuju pada sebuah siluet pada sebuah jendela di salah satu rumah. Buru-buru kudekati. Tampaknya kedua orang tadi tidak lagi mengejarku. Mungkin mereka sadar bahwa aku pun takkan bisa keluar dari sini. Sosok itu semakin kudekati. Tidak terlihat jelas karena kulihat dari luar jendela. Itu orang! Dengan senang hati aku mendekatinya walaupun tetap waspada.

Semakin dekat aku semakin yakin kalau itu orang. Setelah semakin dekat, aku menangis. Memang itu orang. Tepatnya pernah jadi orang. Tapi hanya sampai bagian perut. Bagian seterusnya ke bawah sudah tidak ada. Mengenaskannya lagi, bagian perutnya ditusuk dari bawah hingga atas sehingga dia terlihat sebagai orang-orangan sawah. Terjatuh. Bangun. Kemudian berlari menuju rumah lain. Itulah yang kulakukan selesai melihatnya. Itu juga yang kulakukan setelah melihat rumah-rumah lain. Isinya hanya mayat korban pembunuhan yang keji. Yang sedikit mengusik benakku adalah, mereka belum menjadi tengkorak. Tapi itu bukan masalah utamanya pada saat itu. Aku tidak berani menengok rumah lain karena semakin lama terlihat semakin kejam. Rumah terakhir yang kulihat, mayatnya hanya tersisa bagian kepalanya saja yang digantung layaknya topi digantungan topi.

Tak terasa aku sudah sampai ke mobil. Aku bersyukur kedua orang itu tidak mengejarku lagi. Dalam hati aku tetap berdoa agar Andri baik-baik saja. Tapi aku yakin, lambat laun mereka pasti melakukannya lagi. Jadi mobil bukanlah tempat yang aman. Aku melihat kembali surau tua itu. Setelah diperhatikan surau itu memiliki sebuah pintu kecil di salah satu sisinya. Aku kemudian keluar dari mobil dan menuju surau itu. Kali ini aku membawa buku yang selalu Andri bawa. Rasa penasaranku semakin tak terbendung. Kuharap buku ini dapat menjawab segala pertanyaanku tentang tempat ini.

Perlahan-lahan aku memasuki surau itu. Tiap langkahku disertai dengan bunyi-bunyian yang semakin menunjukkan kebobrokkan surau itu. Kemudian kuraih gagang pintu kecil itu. Kubuka. Ada sebuah ruangan. Tidak terlihat dari luar karena arahnya berlawanan dengan sudut pandang orang yang melihat dari jalan. Lantainya terbuat dari kayu. Hanya ada cahaya remang-remang. Sulit untuk memperhatikan langkah sendiri.

Tak disangka-sangka, aku terjatuh karena lantainya sudah begitu tua. Kejadiannya begitu cepat hingga berteriak pun tak sempat. Ternyata, ada sebuah ruangan di bawah surau itu. Sebuah ruangan bawah tanah. Kelihatannya ruangan ini tidak banyak yang tahu karena jalan masuknya pun kulewati karena faktor ketidaksengajaan. Bukan milik warga. Itu yang pasti. Ruangan itu lebih besar dari surau itu sendiri.

Barang-barangnya khas Belanda. Nampaknya dulu ada orang Belanda yang pernah kesini dan membuat ruangan ini. Kualihkan pandanganku ke sebuah meja yang terbuat dari bambu. Bermodal sebuah senter kecil sekarat yang kuambil dari mobil, aku mencoba untuk membaca tulisan yang tertera di sebuah kertas di atas meja itu. Kertas yang sangat tua. Supaya tidak rusak, tidak kuangkat dan langsung kubaca.

Bunyinya, ”Entahlah apa aku bisa selamat. Jadi kuputuskan untuk menyerahkan buku penelitianku. Akan kuberikan pada orang pertama yang kulihat bila berhasil keluar dari sini. Tertanda: Van Sandick”.

*****

Langsung kualihkan pandangan mataku pada buku milik Andri yang kugenggam. Aku merasa ini saling berhubungan. Benar saja. Di sudut kanan atas cover buku tersebut ada inisial V.S. Tidak terlalu besar. Orang lain tidak akan menyadari keberadaan inisial tersebut bila hanya melihat sekilas. Kurasa ini dia! Berarti buku penelitian Van Sandick diberikan pada salah satu kerabat Andri berpuluh-puluh tahun lalu.

Segera kubuka halaman demi halaman buku itu yang isinya memang hasil penelitian Sandick. Sampai akhirnya aku tiba pada sebuah halaman yang ditandai oleh sesuatu. Halaman itu bertuliskan, ”Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera...”.

Aku ingat sekarang. Tulisan ini adalah catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang kemungkinan berasal dari 416 M! Ini menjelaskan semua. Angka di foto itu, 2-0;0’.8-83, maksudnya adalah tanggal 20 Agustus 1883. Yaitu merupakan 7 hari sebelum Gunung Krakatau meletus! Jadi, semua keributan yang terjadi menurut yang diceritakan ibu tua itu sebenarnya bukan karena keluarga atau anak itu. Tapi itu adalah dampak letusan Gunung Krakatau!

Aku kemudian melanjutkan membaca, ”Pada tanggal 29 Agustus 1883, tepatnya dua hari setelah letusan gunung itu terjadi, aku melihat sebuah kejadian yang mengerikan. Warga desa yang tidak tahu apa-apa ini secara sadis membunuh seorang anak yang mereka kira telah menyebabkan letusan ini. Tidak ada gunanya bagiku untuk memberitahukan pada mereka kejadian sebenarnya. Rasa benci mereka sudah begitu bertumpuk. Bagai bom yang sudah siap meledak. Kemudian, ayah dari anak itu, yang ternyata juga mempelajari ilmu terlarang itu langsung mengutuk desa ini agar selamanya tidak bisa melihat matahari, ataupun dunia luar. Desa ini menjadi desa yang tidak ada di peta. Namun, dampak dari melakukan ini adalah ayah dan ibu dari anak itu kini menjadi tidak dapat mati. Dia akan terus hidup. Tak peduli apapun yang mengenainya.

Tapi pada saat itu, salah seorang warga desa yang membawa minyak tanah langsung menyiramkannya kepada ayah dari anak itu. Tidak terkena semua. Dia sempat menghindar, jadi yang terkena hanya tubuh bagian kanannya saja. Salah seorang warga lagi melemparkan obor yang menyala ke arahnya. Pria malang itupun terbakar. Belum sampai seluruh bagian, hanya sebelah kanan, karena dia langsung bertindak cepat dengan menceburkan diri ke kolam. Aku hanya bisa bersembunyi, karena setelah melakukan itu, ayah dari anak itu langsung membalaskan dendamnya kepada penduduk desa. Mereka tidak bisa lari kemana-mana. Begitu pula aku. Namun, ternyata kutukan itu memiliki kelemahan. Desa ini tidak selamanya hilang dari bumi. Saat bulan purnama, desa ini tersambung dengan bumi. Itulah yang kubaca dari buku tua yang kutemukan dalam salah satu penelitianku sebelum bersembunyi di ruang bawah tanahku ini. Begitu pulalah caraku keluar dari sini. Aku sempat mengabadikan foto keluarga itu. Tepatnya 7 hari sebelum letusan itu terjadi....”


Ternyata orang Belanda ini pulalah yang mengabadikan gambar mereka. Juga yang memberikannya pada mereka. Berarti, ibu tadi telah menceritakan kisahnya sendiri. Kisah hidupnya yang tragis sekitar satu abad lalu. Pasangan itu membalaskan dendamnya kepada tiap warga desa. Mereka mengira bahwa aku dan Andri adalah penduduk desa yang masih tersisa. Tetapi mendengar bahwa ternyata masih ada jalan keluar dari sini membuatku sedikit lega.

*****

Benar-benar keberuntungan. Malam ini bulan purnama. Sekarang tinggal menunggu. Matahari akan mulai terbenam empat jam lagi. Aku memutuskan untuk mengatur rencana menyelamatkan Andri. Sayangnya, karena ruang bawah tanah itu sudah tua, dan sedikit sekali celah oksigen, tidak lama kemudian aku jatuh pingsan. Entah berapa lama kemudian, aku kembali bangun layaknya orang panik. Kulihat jam tanganku dan tanpa terasa aku sudah tak sadarkan diri lebih lama dari waktu yang kuperkirakan. Dengan segera aku berlari keluar karena menurutku, tebalnya kabut akan membuat penampakan bulan itu menjadi lebih sebentar.

Lagi-lagi benar. Terkadang aku benci bila apa yang kukatakan benar. Sekarang waktuku kurang dari semenit sebelum bulan purnama itu kembali tertutup oleh kabut. Namun ada yang tidak kurencanakan, dari jauh aku melihat kedua pasutri itu melangkah. Mereka berdua membawa alat-alat tajam yang seakan sedang haus darah. Dengan pandangan yang seram, mereka mulai mendekatiku seraya melempariku dengan alat-alat tersebut. Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke mobil.

”Tolooooong! Denniiiis! Tolooooong!”

Itu suara Andri. Syukurlah dia masih hidup. Waktu itu aku sempat memutuskan untuk menabrak dua orang itu. Namun, saat aku ingin melihat kebelakang untuk memundurkan mobilku, ibarat dimuntahkan senapan, sebilah pisau melesat dari belakang. Hampir kena. Panik. Dengan penuh tenaga, kuinjak pedal gas dan mobil ini langsung melesat ke arah pulang. Ujung jalan yang akan kulewati nyaris tertutup oleh kabut sepenuhnya. Pasti itu penghalang desa ini yang sebentar lagi akan benar-benar tertutup. Akibat pingsan tadi, kini waktuku hanya 10 detik...9...8...7...

Aku tak sadarkan diri. Setelah disadarkan oleh hangatnya mentari, aku mendapati diriku dan mobilku sedang terperosok di sawah seorang petani. Aku berhasil. Sekali lagi kuharap itu cuma mimpi. Namun kemudian aku melihat sebilah pisau yang tertancap di kaca depanku. ”Itu bukan mimpi”, pikirku. Aku menerawang keadaan sekeliling, dan ternyata benar, Andri tidak ada disampingku. Aku tidak berhasil menyelamatkannya.

*****

”Deeeeen! Makanan sudah siap nak!”

Panggilan ibuku seakan menarikku kembali menuju masa kini. 10 tahun kemudian. Semoga keberadaan waktu dalam kehidupanku sedikit demi sedikit membunuh ingatanku tentang hal itu. Setiap detik aku mengingatnya, panas rasanya hati ini karena tidak bisa menyelamatkan teman yang paling kusayangi.

Dengan hati yang masih hancur aku mengelap air yang mengalir dari indera penglihatanku. Kubuka dompetku, untuk sekali lagi melihat foto kami berdua. Dulu, beberapa saat sebelum kami berangkat menuju desa terkutuk itu. Aku melihatnya dengan penuh rasa sedih.

Tapi, tunggu! Ada yang berubah dari foto ini. Ada. Tapi apa? Entah mengapa aku yakin bahwa sampai sekarang Andri masih hidup. Dia berusaha memberitahuku. Perasaanku mengatakan aku harus kembali kesana. Tapi tidak sekarang. Aku harus mencari orang yang cukup nekat untuk mempercayai ceritaku ini. Mungkin. Hanya mungkin. Ini bukanlah akhir dari segalanya. Aku rasa masih ada kesempatan untuk menyelamatkan Andri.


The End of Chapter One – ”Memory from The Past”.

To Be Continued on Chapter Two – ”The Meeting and The Revelation of Secret”.

Created by: Amadeo D. Bafiansa