Minggu dini hari ini aku terbangun dengan kebiasaan yang sama, melek kearah langit-langit dengan kegalauan yang tak berarti didalam hati. Entah ya, rasanya kayak ada semacam perasaan merugi karena aku melakukan atau gak melakukan sesuatu. Perasaanku akhir-akhir ini seakan dihantui oleh kerugian karena gak memanfaatkan waktu secara optimal. Disatu sisi aku nganggep itu baik, karena mendorongku untuk lebih efisien dalam segala hal. Tapi disisi lain, aku mulai frustasi dengan segala atrificial stress ini. Sebab kadang-kadang rasa cemas itu memiliki sebab yang buram, seperti yang kurasakan sejak pertama kali membuka mata hari ini sehingga sulit untuk kuhilangkan.
Seperti ada sebuah penyakit yang menggantung didadaku.
Setelah memaksakan diri untuk bangun, kakiku melangkah gontai menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dua rakaat yang kujalani sesudahnya, mengantarku kembali untuk duduk didepan sebuah layar kaca yang sengaja gak kunyalain biar memudahkanku untuk berpikir.
Aku mulai bertanya pada bayangan diriku yang terpantul di sebuah layar yang padam.
Kok aku gelisah banget, sih? Kenapa perasaan aneh ini datang padaku? Perbuatan buruk apa yang kulakukan? Atau, kewajiban apa yang harus kutunaikan? Jika itu masalah sekolah, kekhawatiran menghadapi ujian akhir, atau suasana persaingan yang merebak antar teman, biasanya gak se-mengganggu ini. Terus, aku kenapa dong?
Sebuah suara yang familiar memanggilku setelah tiga menit duduk tanpa bahasan yang penting dalam anganku.
“Kiii.. sini bentar deh. Mama mau ngasih unjuk sesuatu!”
“Yaaa… sebentar.”
Aku beranjak malas dari tempat tidurku menuju kebawah. Dari tangga aku bisa liat mama duduk ditemani setumpuk album foto disampingnya. Pasti mau ngasih liat foto dulu. Cuma kali ini ada ekspresi lain yang ditunjukkin mama. Matanya berbinar-binar.
“Liat deh, ini foto waktu kamu masih kecil. Banyak banget. Ada kamu sama sepupumu, adikmu, sama eyang juga ada.”
Aku bisa lihat kalo jumlah fotoku dengan eyang mendominasi album kecil itu. Disusul dengan foto bersama adik, baru sama sepupu. Untuk beberapa saat ketika melihat foto-foto aku kecil itu, aku kebawa suasana sentimentil. Mama gak boong pas bilang kalo aku bisa dikatakan lebih beruntung dimasa kecil dibanding adikku. Yah, gampangnya lebih dapet perhatian dari eyang, deh. Tapi bukan itu topiknya kali ini. Disitu aku terlihat jauh lebih bahagia, lebih lepas, lebih narsis (yang ini gak begitu penting), lebih tanpa beban dibanding aku yang sekarang. Aku yang sekarang cenderung lebih membuat-buat masalah ketika aku seharusnya menikmati hidup. Mungkin dengan nge-push diriku untuk perfect disegala hal, waktu, juga kesempatan, jiwaku telah berteriak memintaku untuk menurunkan standar.
“Ma, dulu aku gemuk ya?” tanyaku ke mama yang dia bales pake senyum doang. Pandanganku balik ke foto-foto tua itu. Disamping fakta bahwa dulu aku terlihat bahagia banget, gak kayak sekarang, juga aku sering maen sama eyang dan adikku, aku nyadarin sesuatu lagi.
They were look so young.
Mama, papa, om, tante, eyang, semuanya keliatan jauh lebih muda dibanding sekarang. Memang sih, itu jelas secara itu foto 15 tahun yang lalu. Tapi, tetep aja… “Wow… muda banget. Penampilannya jauh berbeda pas rambut putih belum menghiasi kepala mereka…” bisikku dalam hati. Kalau melihat eyang kakung yang sekarang harus berjalan menggunakan tongkat kemana-mana, fotonya dulu mengatakan sebaliknya.
Ketika baca komentar-komentar di pinggir foto itu, serasa ada yang matiin saklar yang menghubungkanku ke dunia luar. Aku tenggelam dalam imajinasiku sendiri. Kata-kata sederhana namun menyentuh, telah membujuk air mataku untuk ngalir keluar. Seperti, ‘Duuh… si Kiki ultah yang ke limaa.. Semoga cepet gede ya, sayaang :)’, ‘Wahwah.. adek kok berantem mulu sama kakak, siih? Mainnya yang akur ya, anak-anakkuu...’, ‘Kiii.. mulutnya dibuka, yaaa.. Liat tuh, eyang udah bela-belain nyuapin sambil gendong kamu’.
Gambar-gambar masa lalu itu udah ngebius pikiranku ampe aku gak sadar air yang sama juga membasahi pipi mama semenjak 10 menit yang lalu. Aku menaiki tangga kearah atas dengan perlahan setelah aku memeluk mama dalam keadaan sama-sama menangis. Mungkin bagi orang lain ini berlebihan, tapi dikeluargaku pengabadian momen lewat foto itu jarang. Semakin kesini semakin jarang, berlawanan banget ama gradien kemudahan berfoto ria lewat hape ato media lain.
Aku kemudian duduk disisi tempat tidur, melihat wajah adikku yang tertidur pulas dan gak tau berapa lama sejak terakhir kali aku nyempetin waktu untuk sekedar ngeliat mukanya pas bicara. Aku selalu jutek pas dia minta tolong. Lupa bahwa dulu kami sering main bareng sekalipun dengan jarak umur yang lumayan jauh. Dia masih kecil, tapi kadang-kadang aku tanpa sengaja memaksanya untuk berpikir dewasa dengan menanggapi serius perilakunya dia. Aku sadar tindakanku udah salah.
Kemudian… Sejak aku SMP, aku mulai jauh dari eyang. SMA apalagi. Sekalipun waktuku sering kosong, aku lebih memilih untuk tidur-tiduran atau berselancar didunia maya ketimbang nganterin eyang. Padahal aku dulu mau mau aja diminta nganterin – dengan iming-iming snack dan es loli. Aku lupa kalo dulu dia sering nyuapin aku walaupun aku males makan. Sering ngajak jalan-jalan, bacain cerita sebelum tidur, bahkan gak segan-segan mijitin kalo aku capek abis lari-lari.
Terus… kedua orangtuaku. Sebelum aku menyilahkan diriku untuk berpanjang lebar mengingat untaian dosaku ke mereka, aku langsung nanya ke diri sendiri lagi. ‘Aku udah bales mereka apaan, yah?’ Aku bukan anak yang begitu penurut, ga begitu pinter disekolah, ga punya bakat yang bisa dibanggain, dan bukan anak paling jujur sedunia. Sekalipun aku pinter juga, kayaknya bukan itu yang ngundang senyum mereka. Dan nginget tanggal di salah satu foto tadi, aku udah ‘nyiksa’ mereka selama 21 tahun. Mungkin aku lebih ngebuat mereka tua dibanding karena umur mereka sendiri. Ngerti gak?
Cahaya matahari yang malu-malu ngintip lewat jendela membawaku kedalam suasana hati lain di fajar yang singkat ini. Seiring berjalannya waktu, rumah ini udah jadi tempat tidur doang. Mama papa yang makin sibuk sendiri, jarak kampusku yang jauh dan sering disibukkan oleh berbagai urusan didalamnya membuat hubungan keluarga kami terkadang kerasa lebih kayak rekan kerja dibanding hubungan darah. Aku membawa diriku kedepan sebuah cermin yang dari ukurannya membuatku bisa memperhatikan keseluruhan badanku.
Disitu kutatap dalam-dalam mata dan wajahku.
Apa yang telah kulakukan selama ini? Aku membiarkan diriku hanyut dalam tuntutan jaman demi bisa memperkuat jaringan pertemanan tanpa mengingat jaringan keluarga yang begitu berarti bagiku. Aku terus-terusan mencoba menyukseskan diriku, mementingkan hubungan dengan orang lain, mempermasalahkan hari-hariku, berpikir tentang wanita, ambisius untuk sekedar dapetin nilai yang temporer, tanpa menggubris alam dimana aku berasal.
Kapan terakhir kali aku bener-bener bahagia?
Kapan terakhir kali aku tertawa lepas tanpa beban?
Kapan terakhir kali aku bersenang-senang dengan keluargaku?
Or at least…
Kapan terakhir kali aku menganggap mereka ada?
Aku berdiri kayak patung didepan cermin itu. Fisikku diam, tapi pikiranku melanglang buana. Flashback ke semua memori indah yang bagai mimpi bila kuingat sekarang. Saat-saat bergandengan ketika jalan sama adek, orang tua, dan kemeriahan ketika berkumpul bersama keluarga besar. Aku ingat bahwa hanya kata ‘tidak’ yang mencuat dari bibirku ketika mama ngajak ke arisan keluarga. Aku kangen sama semuanya itu. Apa yang harus kulakukan untuk memulainya lagi?
Mama teriak lagi. Kali ini nadanya cemas. Takut.
“Kiki! Kiki! Eyang uti masuk rumah sakit, nak.. Dia kepeleset di kamar mandi dan pingsan. Mama takut ini bahaya buat dia soalnya dia diabetes, nak! Ikut mama sekarang!”
Aku cuma bengong denger itu. Aku mendongak ke atas sambil senyum. Senyum getir. Senyum yang dibumbuin kekhawatiran karena salah satu orang yang paling sayang aku sedang terancam keselamatannya. Empat detik kemudian aku langsung lari, nyamber pakaian di jemuran, dan ngambil kunci mobil untuk pergi ke rumah sakit sama mama. Aku harap kami ga telat. Semoga eyang gak kenapa-napa. Di perjalanan aku cuma bisa zikir sembari berterima kasih.
Terima kasih Tuhan, aku telah disadarkan pada waktu yang tepat.
Kini aku bisa kembali ke aku yang dulu, yang bahagia.
Kini aku tahu penyebab kegalauan di tiap pagiku.
Kini aku tahu penyakit apa didadaku.
Kini aku bisa kembali berbakti lagi.
Oh.. Keluarga…
(ADB)