Siang ini, panasnya Jakarta hampir tidak bisa kutoleransi. Gelombang panas yang dipancarkannya seakan membuat burung-burungpun enggan mengembangkan sayapnya. Sebagian dari penduduk Kota Metropolitan ini sedang berada di ruangan ber-AC dalam keadaan tidur, atau mungkin bersantai. Sebagian lagi berada di dalam mobil mewah mereka yang rasa panasnya telah tertiup oleh pendingin yang menyejukkan. Sebagian yang lain, ya seperti aku ini. Berdesak-desakan di dalam angkutan umum, berdiri, merasakan tiga kali lipatnya rasa lelah. Ditambah lagi hawa panas yang bahkan mungkin bisa membuat orang Arab-pun melepas baju.
Untungnya, pengembaraanku di Jakarta berakhir sudah. Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang beritikad baik untuk menimba nasib di kota ini. Namun aku juga adalah satu di antara mereka yang gagal peruntungannya. Tidak menutup kemungkinan itu dikarenakan asalku yang dari desa dan ijasahku yang bernilai kurang.
Oh ya, di map lusuh nan kusam berwarna merah tua yang telah menjadi teman seperjalananku selama empat tahun terakhir tertera nama Rico Mangunpraja. Nama yang telah melekat pada diriku selama 26 tahun. Agak sedikit aneh memang hubungannya antara kata pertama dengan yang kedua, tapi biarlah. Terkadang orangtuaku memang ingin merasakan hidup sebagai orang kaya. Setidaknya itu dimulai dengan memberi nama anak mereka nama yang tidak biasa. Sekalipun “Mangunpraja”-nya masih belum rela ditinggalkan.
Terkadang aku terkekeh sendiri memikirkannya. Tentang betapa lugunya orang desa yang berpikir bahwa sebuah nama bisa sebegitu besar pengaruhnya terhadap nasib seseorang. Walaupun terkadang keluguan itu bisa meninggalkan bekas berupa kerinduan yang dalam.
Begitu dalam sehingga bisa merubah tawa, menjadi duka.
*****
Perjalanan pulang menuju kampung halamanku di Yogyakarta, terasa lebih lama dari seharusnya. Maklum, naik-turun, gonta-ganti angkutan umum dengan pemandangan yang relatif sama membuat orang termalas-pun, bisa bosan juga. Sekalinya dalam setiap angkutan umum itu aku melihat mimik yang berbeda-beda. Banyak. Ada yang terlihat jelas sedang senang, mungkin karena dinanti keluarganya di kampung. Suasana kekeluargaan yang sedikit demi sedikit terkikis dan punah di kota. Ada yang terlihat bosan dan khawatir. Namun ada satu pemandangan yang paling malas kulihat, bila ada orang tua. Entah itu seorang kakek, atau nenek. Apalagi kalau dua-duanya. Sebab,-.
“Kebumen! Kebumen! Yang mau turun di Kebumen! Sudah sampaaai!”
Suara kenek itu memutus memoriku. Baguslah. Memang seharusnya itu tidak kuingat. Aku sering menangis sendiri karenanya. Sebuah tragedi biasa yang tidak biasa alasannya. Itu yang menyebabkanku belum bisa menerima hingga sekarang. Beberapa orang turun. Aku tidak. Akhirnya aku dapat tempat duduk setelah berdiri selama kurang lebih tujuh angkutan umum selama tiga hari. Kucoba untuk tidur demi mempersingkat waktu.
Bis yang lowong ini, dengan angin alam yang berhembus menerpa pipiku benar-benar meninabobokanku, setidaknya sehingga seseorang berkata:
“Bangun! Bangun! Bangun! Sudah sampai, dek. Kamu mau turun disini, kan?”
“Oh, iya! M-Makasih ya, pak!”. Suara yang pertama samar-samar terdengar kemudian semakin jelas di telingaku. Untung kenek ini tahu tujuanku, kalau tadi masih tidur, gawat.
Aku melangkah menuju pintu keluar bis ini sambil tertunduk. Jadi nanti efek dramatisnya saat kepalaku diangkat, kelihatan. Sudah lama rasanya sejak dulu meninggalkan tempat ini. Kota kecil ini namanya Kasihan. Jangan kaget karena memang begitu adanya. Di sekitar Yogya ini ada banyak kota kecil lain yang namanya aneh, seperti Sedan, Terong, Panggang, dan Pajangan.
Setelah menginjakkan kaki di ranah itu, kuangkat kepalaku.
Indah. Benar-benar indah.
Kedamaian yang sangat langka dan elok. Pemandangan seperti ini, di kota, hanyalah ada di lukisan-lukisan mahal. Sekarang aku tahu mengapa dihargai mahal. Bukan hanya karena teknik dan kelihaian pelukisnya, tapi juga karena yang dilukisnya mungkin adalah penampakan yang laksana mimpi bagi mereka yang melihatnya. Penampakan yang seolah-olah hanya lukisan yang mampu menampilkannya.
Daya tarik tempat yang sunyi, bulan perak, dan kemegahan bintang-bintang... Surga tempat para pengembara menyaksikan keagungan terbit dan tenggelamnya matahari di alam bebas, tak terpengaruh manusia, hanya diganti dengan berlalunya waktu yang abadi. Secara tak sadar, kata-kata itu terucap di hatiku, melihat keindahan tempat yang teramat.
Kini aku sudah sampai di depan rumahku yang juga merupakan rumah orangtuaku, dan rumah kakek-nenekku. Kami memang keluarga yang kurang beruntung. Itulah tujuanku pergi ke Jakarta. Tapi aku pulang karena kurasa ilmu yang kumiliki akan lebih berguna disini.
*****
Di depan mataku ada dia. Sosok orang yang paling ingin kutemui sekarang melebihi siapapun. Bukan pacar, tapi seorang kakek yang telah mengisi ruang kosong ingatanku semenjak kecil.
Kudekati ia dengan setengah berlari, lalu kupacu langkahku karena tidak sabar lagi untuk menjalani kehidupan dulu, yang diidam-idamkan penduduk kota sekarang. Semakin dekat aku semakin sadar bahwa ia tidak hanya sekadar duduk. Ia sedang membuka sebuah peti. Peti yang bagiku terlihat seperti yang ada di film-film bajak laut. Berwarna kecoklatan, dengan tutup berbentuk setengah tabung.
“Kek! Aku pulang!”, teriakku dengan nada gembira.
“Rico! Itu kamu, nak?”. Sahutnya dengan suaranya yang khas kakek-kakek. Kami berpelukan agak lama untuk melepas rindu, dan setelah kuceritakan dengan singkat bahwa aku tidak bisa mencari pekerjaan di Jakarta, aku mengalihkan topik pada peti yang sedari tadi mengusik perhatianku. Ada ukiran kasar yang bertuliskan V.S. “Peti apa itu Kek?”, tanyaku. “Ini? Peti ini...Ah, mungkin memang sudah saatnya kamu tahu. Peti ini menyimpan sesuatu yang telah kamu cari selama bertahun-tahun. Ia ____”
“Rico! Kamu sudah pulang, Nak? Ya Allah, kenapa masih disini? Masuklah nak, kamu terlihat kelelahan. Biar Nenek buatkan minuman. Nanti saja kamu lanjutkan bicara dengan kakekmu. Nenek ‘kan juga kangen, Nak.”. Begitulah Nenekku, ternyata ia masih suka menimpali dan memotong pembicaraan orang lain kalau ia ingin bicara. Tapi ada benarnya juga, sih. Ini sudah hampir maghrib dan hanya Aqua gelas yang mendatangi mulutku sejak pagi.
*****
Makan malam kali ini aku tertawa seperti orang yang belum pernah tertawa.
Aku menceritakan pengalamanku selama empat tahun berada di Jakarta. Ketika pertama kali datang dan nyasar, ketika pertama kali salah masuk kamar kos, hingga ketika pertama kali ditendang keluar saat melamar bekerja sebagai sales alat rumah tangga di perusahaan otomotif. Karena pertama kali, kukira otomotif itu oto-nya berarti otomatis dan motif-nya berarti yang banyak motifnya, ya, alat rumah tangga. Kami bertiga tertawa bahagia melepas rindu. Bagi kami, empat tahun tidak bertemu itu saat yang sangat lama. Terlebih karena kami bertiga memang sangat dekat sejak aku masih kecil. Mereka berdua yang merawatku. Sepiring nasi yang hanya ditiban tahu, tempe, dan sambal itu pun terasa seperti masakan restoran bintang lima.
Singkatnya, setelah selesai makan malam dan shalat Isya, rasa penasaran mulai kembali datang menggerayangiku mengenai peti tadi. Kupanggil lagi kakekku untuk menceritakan apa yang tidak sempat ia katakan tadi.
“Kek, petinya mana? Tadi kakek mau cerita apa?”, tanyaku.
“Petinya ada di samping rumah. Ambillah. Dan coba kau buka sendiri di kamarmu.”.
“Terus, yang mau kakek ceritakan tadi....”.
“Sudahlah, ambil dan buka saja. Anak sepandai kau pasti mengerti.”
“Ya sudah”, pikirku.
Namun ada yang aneh. Perilaku kakek seperti orang yang tidak sanggup mengatakan sesuatu, tapi panik, sehingga gaya bicaranya tadi seperti sedang marah. Jalanku kupelan-pelankan. Rasanya seperti akan mendapatkan sebuah hadiah ulang tahun yang luar biasa. Kupingit-pingit perasaan penasaranku. Itu dia. Kuangkat peti disamping rumahku itu. Lumayan berat. Sesampainya di kamar, kupandangi peti itu. Peti yang katanya memuat yang kucari selama bertahun-tahun. Memangnya apa? Aku sendiri tidak terlalu sadar tentang apa yang kucari. Dan inisial apa ini? V.S.? Pembuatnya tampaknya membuatnya dengan golok atau pisau. Pasti dengan keadaan terpaksa. Karena bila ia tidak terburu-buru, peti bagus seperti ini – yang bahkan cukup mahal dibeli jaman sekarang – tidak akan diberi tanda sekasar ini.
Tanganku kaku. Seakan ia menolak untuk membukanya. Atau, peti itu yang menolaknya?
Kupalingkan mukaku daripadanya. Aku memutuskan untuk tidur saja. Aku baru sadar akhir-akhir ini kurang tidur dan mungkin sekarang saat yang tepat untuk balas dendam. Meskipun, alasan sebenarnya adalah; terkadang hal-hal yang indah di dunia ini hanya dilindungi oleh selapis tipis membran rapuh yang melindunginya dari hilangnya keindahan itu.
Ia adalah kebohongan, ketidaktahuan, dan ketidaksadaran. Bukan jarang dalam kehidupanku aku menemukan yang tadinya kuanggap keindahan, runtuh seketika hanya karena aku tahu. Seperti ketika aku mudah menemukan banyak teman saat pertama kali merantau, ternyata semata-mata karena mereka ingin memanfaatkanku. Kuketahui itu tanpa sengaja. Andaipun ku tak tahu, sebenarnya tidak ada masalah dengan pertemanan tersebut. Mereka hanya menyuruh yang ringan-ringan saja, tapi aku tidak suka yang seperti itu.
Kuhempaskan badanku ke atas kasur setelah meminta ijin pada mereka berdua untuk tidur lebih awal. Buru-buru kupejamkan mata agar tidak lagi terpikir mengenai peti berinisial V.S. tersebut.
Ternyata tidak mudah. Tidak semudah dan secepat itu.
*****
Aku bermimpi buruk.
Aku berada di sebuah kebun luas yang kosong di malam hari. Tanpa lampu, dan pencahayaan sedikitpun. Pohon palem mengelilingiku di radius sekitar 200 meter. Di atas terlihat awan yang berbentuk pusaran angin dan bergerak berputar. Angin yang kencang mulai menghembusku dari belakang. Di tengah keheningan yang dicampur suara angin dan gesekan daun itu, aku mendengar suara.
“BUKA! BUKA! BUKA!”.
Suara yang berat dan menggelegar sontak membuatku terperanjat. Di mimpi itu aku merasakannya mulai asli, sekujur tubuhku terasa kaku setelah mendengar bentakan keras tersebut. Bentakan yang antara satu kata dengan yang lainnya tidak terlalu dekat, namun juga tidak terlalu jauh. Angin dan pohon-pohon yang ada disitu seakan mendukung angkernya suara yang bergema tadi dengan goyangan mereka yang serasa mau roboh.
“B-Buka apa? Apa yang harus kubuka?”. Tidak ada balasan. Sejenak kemudian aku melihat dua sosok yang sangat kukenal, hanya bayangannya saja, kuingin sebutkan tapi entah kenapa mulutku kelu. Dari kejauhan mereka juga memerintahkanku untuk membuka sesuatu. Suaranya tidak sekeras suara gaib tadi, jauh lebih halus, namun justru terkesan lebih menyeramkan. Kemudian hilang. Kucoba untuk berlari mengejar bayangan tadi, namun tak mampu.
Kugerakkan tubuh dan kepalaku ke kanan-kiri dengan waspada. Tiba-tiba muncul sosok lain. Bukan bayangan. Kali ini sekujur tubuh penuh seseorang, yang tidak atau belum kukenal. Ia berdiri tegak dibelakangku agak jauh, dengan tangan terlipat di depan dada, dan pandangan yang tajam ke arahku. Tanpa suara ia berlari kencang ke arahku. Ke arahku yang masih terbujur kaku karena bingung dengan pandangan mata mengintimidasi itu. Ia berlari semakin dekat, kemudian _____.
“Hah! Hhh...hhh...hhh...”, napasku tersengal-sengal setelah terbangun dari mimpiku. Kupegang bajuku. Basah. Aku sangat berkeringat.
Kuambil posisi duduk dan kulihat sekarang baru pukul 1:30 malam. Tidak ada cahaya dari lampu telop milik nenekku yang artinya mereka berdua sudah tidur. Dalam keadaan masih pusing dan bingung, pandanganku menyapu seisi kamar itu dan berhenti pada satu titik. Peti coklat. Peti tua itu. “Apa ini yang disuruh untuk dibuka tadi? Seberapa pentingnya sih? Ini Cuma peti biasa, kan?”, kukatakan itu di dalam hati untuk menghibur diriku yang sebenarnya sedang ketakutan setengah mati. Kuberanikan diri untuk sekali lagi mendekati dan mencoba membukanya. Angin malam yang menyelinap masuk seperti datang untuk menemani diriku.
Akhirnya kubuka. Perlahan-lahan namun pasti.
*****
Ternyata isinya tidak se-menyeramkan kesan untuk membukanya. Ada foto, beberapa pakaian lama yang robek, peralatan penelitian yang telah usang, dan buku. Sekarang ketakutanku berubah menjadi kebingungan. Aku tidak mengerti maksud kakek memberikanku ini. Kuterawang penglihatanku ke arah luar jendela kamarku sambil berpikir. Ditengah-tengah konsentrasiku aku mulai menyadari sesuatu. Empat tahun tinggal di Jakarta tidak hanya membuatku lupa akan keanggunan alam desa ini. Tapi juga membuatku lupa akan betapa sunyi dan heningnya tempat ini bila malam
menghampiri.
Kuperhatikan bulan purnama yang menjadi satu-satunya alat penerangan di desa ini.
Sawah dan kebun yang membatasi antara satu rumah dengan yang lain membuat jarak antaranya bisa mencapai 1 Km. Tanpa disadari, angin yang perlahan-lahan menyambangi kamarku ini mulai memaksaku untuk menaruh tanganku bersilangan dengan tangan yang lain, memaksaku untuk melipat kakiku, namun juga memaksaku untuk keluar. Aku berjalan dengan sedikit berjingkrak agar tidak membangunkan mereka yang sedang tidur.
Diluar ternyata suasananya lebih mengerikan.
Kosongnya ladang membuat lolongan anjing hutan bergema sehingga terdengar seperti serigala yang haus darah. Tiupan kencang dari angin membuat daun-daun bergesek kompak dan terdengar layaknya penyelundup yang bersembunyi di balik semak-semak. Suara kepakan sayap burung-burung yang terkesan panik dari balik pohon bak mengisyaratkan bahaya. Kulangkahkan kakiku menuju belakang rumah. Ranting pohon yang entah datang dari mana menjadikan langkahku berisik dan membuatku takut sendiri. Dibelakang rumah kulihat ada yang sedang berdiri tegak melawan angin. Itu kakek! Tapi berdirinya begitu tegak, tidak selayaknya orang berumur 9/10 abad.
“Sudah kau buka?”, tanyanya dengan moda suara seperti orang yang lebih muda 60 tahun.
“Sudah, tapi aku bingung. Apa yang ingin kakek sampaikan?”
Kemudian ia memandangku dengan pandangan yang tegas, namun ramah. Ia tidak pernah terlihat seserius ini bahkan ketika ia marah. Kemudian ia berkata, “Biar kuceritakan saja. Jadi begini. Dulu, setelah ibumu melahirkanmu, orang tuamu berniat untuk pindah ke desa lain. Keputusan mereka bagi kakek terlalu terburu-buru. Mereka berangkat saat bulan purnama, seperti malam ini. Mereka bilang mereka sudah tahu yang mereka juju, tapi kakek tahu mereka bohong. Tidak ada gunanya menahan mereka karena mereka berdua memang keras kepala. Sehingga, malam itu, sembari menggendongmu, ayahmu membawa pakaian kalian dan berjalan bersama ibumu. Esoknya, kakek berusaha mencari kalian tapi setelah kakek melewati hutan yang kalian lewati kemarin malamnya, kakek kaget. Separuh hutan hilang, yang tersisa hanya cekungan besar. Kelihatannya seperti ada yang mengangkat bagian hutan itu ke suatu tempat. Kakek sudah mencoba bertanya ke semua orang tapi tidak ada satupun yang mengetahui. Kemudian pada purnama berikutnya, kakek mencoba mengikuti arah perjalanan kalian waktu itu. Saat sampai di hutan itu, ada kabut tebal yang menghalangi pandangan. Dibalik tabir kabut itu, ada seseorang. Ia orang Belanda. Ia, dengan pakaiannya yang compang camping, berjalan sambil menyeret peti di kamarmu dan menggendongmu yang sedang tertidur. Perawakannya tinggi, namun kurus. Tampaknya sudah lama ia tidak makan. Kakek langsung menyuruhnya untuk pulang ke rumah kita, ia tidak berbicara apapun. Lalu ___”
“Tunggu dulu, kek! Berarti maksud kakek orang tuaku tidak meninggal karena penyakit? Tetapi hilang di hutan konyol itu?”, seruku dengan nada marah. Sambil tertunduk lesu, karena sudah berbohong padaku selama ini ia menjawab, “Ya...” Aku langsung berlari ke arah hutan yang ditunjuk oleh kakek tadi. Ia berusaha untuk menahanku tapi aku tidak mau dengar. Air mata yang tanpa kuperintahkan mengalir deras menuju pipiku. Sekalipun kecil, tapi kemungkinan orangtuaku masih hidup, ada.
Orangtua adalah harta paling berharga bagi seorang anak, begitu pula sebaliknya. Perjuangan dan peran mereka untuk menumbuhkan seorang anak tidak tergantikan bagaikan sidik jari yang berbeda di tiap jari.
Aku kalap. Pandanganku serasa menyempit. Aku berlari nyaris tak tentu arah. Menuju hutan tersebut pastinya. Lalu.....
“............................................
.....................................................
..............................................................”
Kumulai sadarkan diri. Langit-langit rumah yang kukenal lambat laun mulai menemui titik fokusnya di mataku. Aku ingin bergerak tapi tidak bisa.
Di sebelah kananku ada nenek. Ia tertidur. Kepalaku dikompres. Apa yang terjadi? Apa yang kulewati? Perlahan dari pojok ruangan, kakek mulai keluar dari pintu. Aku diam tanpa kata. Entah mau takut, atau tidak percaya. Entah mau jadi pengecut, atau menuntut yang sebenarnya.
Ia menaruh telunjuknya di depan bibirnya, mengisyaratkanku untuk tetap diam.
Yang membuatku kaget, ia mengangkatku dari tempat tidur seperti ia mengangkatku 20 tahun lalu. Badannya tegak, langkahnya tegas, dan bicaranya tadi cukup lugas. Tidak sejalan dengan usianya.
Kemudian ia menaruhku di tempat tidur kamarnya. Lalu ia berkata, “Kamu di sini saja. Ada yang mau kakek bicarakan. Hanya kita berdua. Nenekmu tidak pernah dan tidak boleh tahu.”
Jam besar, mungkin peninggalan moyangku, yang berdiri kokoh di antara barang-barang lain yang tidak setinggi ia, tiba-tiba detiknya begitu terdengar. Terasa keras sekali di suasana sesunyi itu. Hatiku tidak bisa menyembunyikan perasaan penasaran mengenai yang terjadi hari ini. Sekalinyapun, hatiku juga tak bisa menyembunyikan perasaan baru bahwa sekarang, aku takut dengan kakek.
*****
“Maafkan kakek ya, Nak?”, katanya lirih.
“Maaf kenapa Kek?” jawabku.
“Kau tahu kenapa kau ada di sini?
Kakek tadi melemparimu dengan batu hingga kau pingsan, Nak”.
Tidak ada kata lain yang terpikir secara spontan olehku pada saat itu kecuali, “Bagaimana bisa, Kek? Bukankah aku sudah berlari jauh?”.
“Bacalah buku yang ada di peti itu. Halaman setelah tanda lipatan. Aku akan menemanimu di sini. Nanti akan kujelaskan semuanya”. “Ba-baik, Kek”. Aku menangkap nada penyesalan dalam gaya bicaranya. Kumaklumi. Memang tadi itu aku agak terburu-buru dan tidak mau mendengar karena terlalu sedih.
Aku mulai membaca:
“Ini adalah hari ketujuh aku berada di tempat persembunyianku ini. Setidaknya begitulah menurut jam tanganku, satu-satunya penunjuk waktu yang sudah mulai usang. Entah sebenarnya berapa lama aku disini. Aku berhasil bertahan hidup karena tempat persembunyian yang kubangun tidak diketahui oleh warga desa. Tidak ada yang tidak logis disini, kecuali fakta bahwa orang itu berhasil memisahkan desa ini dengan waktu yang sebenarnya. Selama seminggu di sini, aku melihatnya. Setelah dibunuh satu per satu oleh keluarga itu, penduduk desa ini kembali bangun pada masa tertentu. Mereka benar-benar telah mengacaukan ruang dan waktu di tempat ini.
Aku meralat tulisanku dulu. Aku baru memperhatikan sesuatu.
Ada satu hal yang aneh. Ketika anak itu dibunuh, semua perhatian langsung mengacu pada kemarahan ayah dan ibunya. Tidak ada yang memperhatikan bahwa anak itu tiba-tiba hilang...”
“Kek? Tolong langsung ceritakan padaku.” Kataku sembari menutup buku tersebut.
“Baiklah...hhhh, Nak. Bukankah tadi diceritakan bahwa ada anak yang dibunuh yang hilang? Itu adalah kakek..”
*****
Lampu minyak yang menerangi kami berdua, merefleksikan cahaya ke dinding yang terbuat dari anyaman. Bayanganku normal, kakek tidak. Dibayangan tersebut tidak kulihat jenggot dan badannya yang membungkuk. Melainkan bayangan pria muda yang cukup proposional. Ketakutanku berhasil mengalahkan kemauanku untuk menginterupsi, bahkan untuk bernapas dengan normal.
Lalu kakek melanjutkan, “Tahun 1883 lalu, tepatnya 112 tahun yang lalu, umur kakek 10tahun. Ada sebuah kejadian pada masa itu, yang bisa kau lihat dihalaman depan buku tadi. Intinya, kakek tidak meninggal seperti yang dikira ayah dan ibu kakek, juga orang Belanda tersebut. Kakek masih dengan sedikit kesadaran merangkak kabur menuju hutan, karena mental kakek pada saat itu, melihat puluhan orang dengan obor di malam hari, dengan pandangan yang kalut dan siap menghilangkan nyawa, masih belum siap.
Lalu ayah kakek mengucapkan mantra itu, yang membuat kakek masih bisa hidup hingga sekarang. Mantra tersebut membuat kakek tidak bisa mati, seperti halnya orangtua kakek. Hanya saja, kakek masih sempat menemukan pintu keluar. Pintu yang kakek kira tidak akan terbuka lagi, sampai akhirnya orang Belanda itu kembali dengan menggendongmu.
Dia, Van Sandick, menceritakan semua yang terjadi di sana, dan kukira sudah tidak ada lagi harapan bagimu untuk menemukan orang tuamu, karena keadaan disana. Tak lama kemudian, kakek berikan buku asli Sandick pada seseorang yang pada waktu itu sempat membantu kakek bertani, namanya Andri. Sebelumnya kakek salinkan pada catatan kakek sendiri, menunggu saat yang tepat bagimu untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kamu kehilangan orang tuamu, karena kakek tahu, kau masih belum bisa menerima alasan kakek dulu.”
Aku menerawang pada sela-sela jendela yang terbuka. Pandanganku kosong. Angin yang berhembus tadi, kini berhenti. Ruangan seluas 9 m2 itu, terasa lembab dan panas karena lampu telop menyala dan membuat bayangan dalam kamar bergoyang-goyang. Aku nyaris tidak percaya. Kalau bukan karena mimpi anehku, keberadaan kakek, dan peti itu, pasti aku sudah menganggap kakek gila.
Perlahan kakek menjauh dariku dan keluar ruangan tersebut. Ia tahu aku butuh waktu untuk sendiri. Kemudian tidak ada pilihan bagiku kecuali tidur. Percuma memikirkannya karena ini sangat larut dan aku kelelahan.
*****
Sekarang tanggal 29 Desember, tahun 1999.
Empat tahun setelah kejadian malam itu.
Aku bermimpi lagi. Mimpi yang sama.
Aku berkata dalam mimpi itu, “Buka apa? Bukankah sudah kulihat isi peti itu?”
Tidak ada yang menjawab, aku kembali terbangun saat sosok itu berlari ke arahku lagi.
Perasaanku memaksaku untuk mengambil kembali catatan itu dan membacanya.
Keringat mengalir dari dahiku terus turun melewati alis, kemudian pipi dan dagu, kemudian menetes saat kubaca catatan itu. Juga fakta bahwa sebenarnya itu adalah letusan krakatau. Catatan itu akhirnya sudah kubaca semua, dan tidak ada satupun kode atau pesan tersembunyi. Aku sedang memutuskan untuk kembali tidur ketika aku mendengar deruman mobil di depan rumah.
Fisik dan mentalku sudah terlalu lelah untuk berspekulasi. Walaupun sangat aneh ada mobil yang datang malam-malam begini. Terlebih aku tahu kakek tidak punya kenalan di luar desa ini. Gesekan kakiku dengan lantai, yang merupakan semen, menghasilkan bunyi yang meneror. Hampir aku mengira ada yang mengikutiku dari belakang karenanya.
Di depan pintu pelan-pelan kubuka pintunya sambil berkata, “Siapa?”.
“…….! Hei!”, teriakku spontan sambil menutup mata dengan telapak tanganku.
Pengendara mobil tersebut menyalakan lampu depannya ke arahku sebelum ia berdiri di depan rumahku dengan bersedekap. Untuk ukuran rumah dan desa tanpa penerangan selain bulan, cahaya itu benar-benar membutakan.
Saat mataku mulai beradaptasi, aku mulai bisa melihat sosok itu sekalipun hanya dalam bentuk siluet. Ternyata dia! Dialah sosok dalam mimpiku itu. Kukenal bukan karena wajah, tapi pandangan mata yang sangat memendam amarah dan terkesan kesal padaku.
Dengan nada suara yang dingin ia berkata,
“Apakah kamu orang yang memberi buku pada seseorang bernama Andri yang datang ke tempat ini sepuluh tahun lalu?”.
Aku langsung ingat cerita kakekku dan menjawab dengan terbata-bata, “B-bukan. Itu k-kakekku. Tapi aku tahu semuanya. S-siapa kau?”
------------------------------------------------------------*
Namaku Dennis…
Ada yang harus kita bicarakan....
-------------------------------------------------------------*
The End of Chapter Two – “The Meeting and The Revelation of Secret”.
To Be Continued on Chapter Three, Final Chapter – “The Eternal Path”.
Created by: Amadeo D. Basfiansa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar